ANALISIS SASTRA CERITA PENI DAN NOGO KARYA GERADY TUKAN.



ANALISIS  SASTRA CERITA PENI DAN NOGO
KARYA GERADY TUKAN.

 
 
       I.            Pendahuluan

Banyak penulis dunia percaya bahwa sesungguhnya tradisi kesusastraan barat yang masyur dimulai dari dua puisi epik karya Homer, Iliad dan Odyseey,sebuah maha karya indah yang berkisah tentang peperangan, perdamaian, harga diri, cinta dan kebencian ( Racmatullah:2010).  Kalau dikaji secara mendalam, sebenarnya kedua karya tersebut secara perlahan ternyata menghantar kita untuk mengenal dan menghayati pengalaman bangsa Yunani Kuno dan budayanya dalam satu kurun waktu tertentu. Atau misalnya, setelah membaca kisah Mahabarata, kita seakan dihantar untuk menyelami dinamika situasi sosial, politik dan budaya bangsa India yang terjadi kala itu. Dengan kata lain, sebuah hasil karya sastra merupakan sebuah cerminan reflektif  yang memampukan seseorang untuk memahami dan mengalami sebuah pengalaman atas kebudayaan tertentu tanpa harus hidup dalam budaya itu sendiri.
Lembata adalah salah satu kabupaten baru di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), yang memiliki banyak warisan budaya berupa peninggalan tradisi lisan maupun tulisan. Salah satu  warisan tradisi lisan atau tulisan yang patut dikaji  dan dianalisis adalah peninggalan cerita-cerita rakyat lokal, yang sarat akan pesan-pesan moral. Dalam kacamata linguistik, cerita-cerita rakyat lokal ini dapat dikategorikan sebagai sebuah hasil karya sastra, yang sepatutnya dimaknai sebagai sebuah karya seni  karena mengandung unsur-unsur filosofis. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh Croce ( Hauskeler : 2015) bahwa suatu karya seni (termasuk karya sastra) lebih banyak memiliki atau mengandung konsep-konsep filosofis, ketimbang sebuah karya disertasi filsafat.Oleh karena itu, cerita-cerita rakyat lokal yang ada perlu diberi apresiasi dan digali dalam sebuah  sebuah kajian analisis sastra yang tepat.
Peni dan Nogo adalah sebuah cerita yang berasal dari kampung Lamatuka  yang kemudian dibahasakan secara sastra dalam sebuah buku oleh seorang penulis yang bernama Geradi Tukan. Sebenarnya, penulis agak sulit mengkategorikan cerita Peni dan Nogo ini dalam klasifikasi sastra legenda seperti yang diungkapkan oleh Geradi Tukan (2011), karena berdasarkan penelitian yang dilakukan cerita peni dan nogo adalah sebuah kisah nyata (True Story) yang terjadi di kampung lamatuka. Cerita peni dan nogo lebih mengarah kepada  Tambo (sejarah) yang didefenisikan oleh Sumaryanto (2010) sebagai salah satu bentuk sastra lama yang ceritanya didasarkan pada peristiwa yang benar-benar terjadi. Tapi sebagai sebuah karya sastra tentunya tidak dapat disangkal bahwa cerita Peni dan Nogo juga merupakan sebuah hasil imaji  pengarang ( Gerady Tukan) dengan pengalaman faktualnya (kenangan nyata masa lalu), sebagaimana yang diungkapkan Mursal Esten (Kusinwati : 2009) bahwa sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia(kemanusiaan).
Ada dua alasan mengapa cerita peni dan nogo  dipilih untuk dikaji.(1) Cerita peni dan nogo mengandung unsur kearifan lokal budaya lembata yang sepatutnya diketahui dan diwariskan secara turun temurun .(2) Nilai dan isi cerita peni dan nogo secara detil menggabarkan sikap hidup manusia dalam dua ‘wajah’, yang sangat relevan dengan gambaran kehidupan manusia saat ini.
Oleh karena itu, tulisan ini difokuskan pada analisis tema, seting dan penokohan cerita serta korelasinya dengan situasi dan konteks saat peristiwa itu terjadi. Dengan demikian maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. (1) Bagaimanakan tema  cerita Peni dan Nogo? (2) Bagaimanakah setting dan penokohan cerita Peni dan Nogo (3) Bagaimanakah tema cerita peni dan nogo dikaitkan dengan situasi dan konteks budaya masyarakat pada zamannya?

    II.              Sinopsis Cerita

Cerita Peni dan Nogo merupakan sebuah kisah nyata berasal dari kampung lamatuka (sekarang desa lamalela), sebuah kampung terpencil dikabupaten lembata yang dibangun dari reruntuhan “Tragedi Lepan Batan” , sebuah peristiwa bencana alam, gempa dasyat (blero lero) yang disusul tsunami besar ( aru bure) menewaskan ratusan orang kala itu.
Cerita ini dimulai dengan penjuangan seorang ibu yang selamat dalam tragedi na’as itu. Dengan darah dan keringat, dia membesarkan anak kakak-beradik, Peni dan Nogo. Kedua anak darah itu tumbuh menjadi gadis primadona dengan lakon kharakter yang begitu berbeda. Peni yang lembut, penuh perhatian, sopan dan suka menolong, sementara itu Nogo yang sedikit agresif, sombong dan agak angkuh mewakili dua sisi kehidupan berbeda dari rahim yang sama seperti dua sisi pada satu mata uang logam.
Konflik memanas dengan kehadiran Demon, seorang pemuda ganteng bersahaja, yang kemudian terjebak dalam cinta segitiga.Nogo mencintai Demon, tapi Demon lebih mencintai Peni, sedangkan Peni juga mencintai Demon. Seperti dongeng “Bawang Merah dan Bawang Putih”, persaingan merebut hati Demon, membuat Nogo menghalalkan segala cara, termasuk menjebak dan menuduh Peni sebagai seorang “Suanggi”, orang yang memiliki ilmu hitam, yang biasanya membutuhkan tumbal untuk meningkatkan ilmunya.
Nasib Peni pun ditentukan oleh keputusan Kepala Kampung dan Tua Adat yang bbegitu gampang dihasut dan diprofokasioleh seorang wanita. Peni akhirnya dibuang dan dikucilkan di sebuah tempat yang jauh dari kampung. Wade atau Berawang? Menjadi saksi jejak kehidupan Peni selama pembuangan.
Tahun demi tahun berlalu, dan Peni menghabiskan kegetiran hatinya di tempat asing itu (hutan belantara). Ulat dan biji-biji buah lontar sisa makanan babi hutan, menjadi teman pengisi perut. Dia juga harus berebutan air dengan binatang-binatang hutan untuk memenuhi dahaganya. Kadang dia harus mengalah karena tubuhnya tak mampu menghalau binatang-binatan liar itu. Semakin hari, tubuhnya menjadi kurus kering dan itu embuatnya menderita. Tetapi penderitaan yang lebih hebat adalah saat dia menyaksikan pengkhianatan yang dilakukan oleh Nogo, saudari kandungnya. Airmata menjadi bukti kepedihannya kala itu.
Hingga pada suatu ketika, Demon datang mencari, menemukan, dan membawanya pulang ke kampung.Demon jugalah yang nantinyamembuktikan bahwa peni tidak bersalah. Darah Nogo mendidih karena rasa cemburu dan sakit hati. Pengkhianatan yang dia lakukan justru semakin menumbuhkan cinta yang begitu besar dari Demon pada Peni. Akhirnya, Nogo bunuh diri, dan tebing curam dekat kampung menjadi saksi pengkhianatanya yang berujung maut.

 III.                Analisis Cerita

Umumnya setiap karya sastra prosa dibangun oleh unsur-unsur intrinsik dan unsur entrinsik, yang dipahami sebagai unsur yang membentuk sebuah karya sastra dari dalam dan dari luar (surmayanto ; 2009). Tanpa unsur-unsur ini sebuah karya sastra prosa akan kehilangan bentuk dan ruh-nya, karena itu unsur-unsur ini perlu dikaji secara cermat untuk mendapakan pesan yang tepat dari sebuah karya sastra.

·         Tema
Menurut Sumaryanto (2009) tema adalah pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra. Itu berarti tema merupakan sebuah fondasi yang menjadikan  persoalan atau masalah sebagai bahan baku utama dalam sebuah hasil karya sastra dan bukan dalam pikiran pengarang. Karena itu , tema yang dimunculkan disini adalah sebuah analisis objektif penulis terhadap cerita Peni dan Nogo, sambil berusaha mencoba berdiri dari sudut pandang pengarang.
Berdasarkan ulasan rinci cerita Peni dan Nogo, nampak bahwa yang menjadi akar permasalahan adalah soal cinta Nogo yang tidak terbalaskan oleh tokoh Demon. Penolakan cinta ini menimbulkan rasa irihati, benci dari seorang Nogo, karena Demon lebih menyukai Peni saudarinya. Benih kebencian ini kemudian menjadi pemicu utama munculnya tindakan-tindakan negatif lainya. Nogo menjadi gelap mata, lalu mengorbankan hubungan darah untuk selanjutnya menuduh dan menfitnah Peni sebagai seorang suanggi(orang yang mempunyai kekuatan ilmu hitam).
“sikap kemandirian peni yang demikian,justru membuat demon semakin tertarik padanya. Sebaliknya demon semakin tidak menyukai sifat nogo yang suka mengeluh,suka merengek,tidak kreatif untuk bekerja sendiri tetapi lebih suka mengharapkan bantuan orang. ...”

“Hari lepas hari, Nogo semakin menyadari bahwa demon kurang meneruh simpatik padanya.hal itu tampak dari sikap demon yang kerap acuh tak acuh padanya. ...”
“.....Tumpukan rasa cemburu semakin lama semakin menggunung, hinga berubah menjadi rasa benci. Nogo menjadi sangat benci pada Peni. ...”
Puncak kebecian ini kemudian dibalut dalam sebuah skenario tipu muslihat yang kemudian ditafsir penulis sebagai sebuah pengkhianatan. Kalau ditelisik, sebenarnya, Cerita Peni dan Nogo seolah mengulang cerita pengkianatan masa lalu seperti Kisah Kain dan Habel atau Kisah Romus dan Romulus walau berbeda akar persoalanya, sehingga pada akhirnya  dapat dianalisa bahwa  tema sentral yang diangkat dalam cerita Peni dan Nogo adalah Cinta dan Pengkhianatan. Tema cerita ini menjadi begitu menarik karena seolah tak pernah mati dan terus berulang dan terjadi pada kehidupan manusia saat ini.


·         Setting dan Penokohan
Cerita Peni dan Nogo mengambil setting alam pedesaan yang masih asri dan jauh dari sentuhan atau pengaruh teknologi. Hal ini, nampak jelas bahwa tak ada sedikitpun dalam cerita itu terggambarkan ciri kehidupan kota seperti banyaknya kendaraan yang hilir mudik atau menjulangnya apartement-apartemen mewah , atau terangnya kerlap-kerlip lampu kota. Kenyataannya, bahwa Lamatuka adalah sebuah kampung terpencil, dimana kala itu, masyarakatnya tinggal disebuah lawang, yakni rumah berbentuk seperti lopo dengan atap ilalang yang menyentuh permukaan tanah. Rumah lawang ini hanya memiliki satu pintu dan tak berjendela dimana didalamnya dilengkapi dengan tungku untuk memasak , dan sebuah bale-bale besar. Bale-bale ini berfungsi sebagai tempat tidur,tempat duduk,tempat menyimpan pakaian, dan tempat untuk meletakan perkakas dapur.
Disamping itu,tergambar jelas bahwa kehidupan masyarakat lamatuka kala itu masih sangat berpegang teguh pada adat dan tradisi dimana keputusan para tua adat menjadi aturan dan pedoman untuk bertindak. Sebagai misal, seorang Suanggi (orang berilmu hitam), sangat dibenci dan dimusuhi pada kehidupan masa itu, sehingga siapa pun dia yang berilmu hitam, akan dikucilkan dan dibuang ditengah hutan terlarang (berawang : tempat pengasingan) seperti nasib yang dialami oleh Peni.
Selanjutnya dari segi penokohan, Geradi Tukan menampilkan tokoh cerita dengan menggunakan  teknik analitik dimana dia sendiri langsung menguraikan ciri-ciri atau karakter  dari tokoh cerita tersebut. Dalam alur cerita yang diulas , pengarang (Geradi Tukan)  menjadikan Peni dan Nogo sebagai dua tokoh sentral. Peni adalah tokoh protagonis, yang membawa ide-ide kebenaran dengan sikapnya yang suka membantu, pandai,tenang,rajin, ramah dan mandiri. Sedangkan Nogo adalah tokoh antagonis, tokoh yang menentang ide kebenaran dengan karakternya yang sombong ,kekanak-kanakan,cengeng,suka mengeluh,suka merengek dan tidak kreatif.
Peni dan Nogo adalah dua kakak beradik yang lahir dari satu rahim, namun memiliki lakon karakter yang sangat berbeda. Yang mengherankan adalah demi mendapatkan cinta seorang lelaki, Nogo rela mengkhianati saudari sedarahnya, dan menuduhnya sebagai suanggi, sehingga Peni akhirnya terbuang dalam kesengsaraan hidup pengasingan selama bertahun-tahun.
Pengarang juga menampilkan Demon, sebagai tokoh Ritagonis, yakni tokoh penengah, yang membawa solusi untuk setiap persoalan yang terjadi dalam cerita. Walau bukan sebagai tokoh utama, namun peran tokoh Demon sangat besar untuk menentukan endingnya alur cerita Peni dan Nogo. Tokoh demon-lah yang kemudian mengungkap rahasia kebohongan seorang Nogo, sehingga pada akhirnya peni bisa kembali pulang dari pengasingannya.
Tokoh Ibu, Para tetua adat dan masyarakan kampung juga hadir sebagai tokoh pendukung dalam skenario cerita Peni dan Nogo. Geradi Tukan menggambarkan para tokoh ini sebagai pelengkap cerita yang terkesan mudah dibohongi, mudah percaya, mudah terprovokasi oleh isu suanggi yang dibuat oleh seorang Nogo. Kelemahan mereka inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Nogo untuk memuluskan niat busuknya untuk menyingkirkan Peni dari kampung.
Kalau ditelisik secara cermat, pengarang ( Geradi Tukan) melukiskan atau menggambarakan para tokoh cerita secara apa adanya, sehingga semua sisi baik dan sisi buruk tampak jelas terbaca. Tanpa pernah bermaksut mendikriminasikan setiap tokoh cerita yang ada, tapi hemat penulis Geradi Tukan cukup berhasil untuk menghidupkan kembali karakter nyata setiap tokoh kala itu, karena saat membaca cerita ini, kita seolah  mengenal begitu dekat dengan tokoh cerita yang ada. Emosi  dan perasaan kita, seolah dibuai lewat tokoh karakter yang ada, sehingga kadang kita merasa benci,sedih dan bahagia.

 IV.            Analisis Situasi dan Konteks Budaya

Lamatuka adalah sebuah kampung terpencil (dari dulu sampai sekarang) yang alamnya masih perawan dan dikelilingi oleh rimbunan pohon kemiri. Seperti umumnya ciri-ciri masyarakat lama,masyarakat lamatuka kala itu,masih sangat memegang teguh adat istiadat, pengucilan terhadap pelanggar adat dan aturanya cenderung bersifat statis. Setiap lelaki dan perempuan mempunyai tugas masing-masing. Misalnya, para lelaki sibuk berburu,bertani dan beternak sedangkan para wanita  menenun,mencari kayu api,mengambil air dan memasak.
Walaupun tidak diceritakan secara detil, tetapi kehadiran para pemangku adat atau kepala suku merupakan sebuah gambaran kekuasan yang tersamar. Bahwa ucapan mereka adalah hukum, bahwa keputusan mereka adalah benar, bahwa setiap tindakan mereka adalah kebaikan, sehingga kesan otoriter-nya sangat nampak. Pengasingan di “Berawang” (Tempat angker berkumpulnya roh-roh halus) yang diberikan kepada Peni merupakan hukuman terberat untuk kasus terberat termasuk kasus “suanggi”. Kalau diterjemahkan dalam konteks kekinian maka hukuman pengasingan di berawang sama seperti hukuman mati. Mereka percaya bahwa roh-roh halus akan datang menyiksa dan mencabut nyawa sebagai silih atas pelanggaran yang diperbuat.
Fakta menarik yang mau ditampilkan dalam cerita ini adalah bahwa pengarang sengaja menampilkan dua tokoh perempuan sebagai tokoh sentral dalam cerita, padahal Pengarang (Geradi Tukan) sendiri dibesarkan dalam budaya patrialis yang sangat menomorsatukan posisi laki-laki. Pengarang  bisa saja menjadikan tokoh  Demon yang baik, ganteng , rajin dan penyayang sebagai tokoh utama,tetapi anehnya, dia justru mengangkat Peni dan Nogo sebagai  tokoh  sentral cerita. Secara implisit kita bisa menganalisa beberapa alasan mendasar terkait hal ini,yang pertama, posisi perempuan zaman itu masih dikategorikan sebagai manusia kelas dua. Dalam tradisi lamatuka perempuan tidak diperkenankan untuk berbicara dalam urusan adat, dan tidak diperkenankan untuk makan terlebih dahulu sebelum laki-laki menyatap makananya. Kehadiran cerita Peni dan Nogo, bisa saja mau memberi apresiasi yang tinggi sekaligus menunjukkan kepada khayalak bahwa tokoh perempuan juga bisa menjadi sangat luar biasa (baik atau buruk). Misalnya  Tokoh Nogo sendiri sangat  bisa mempengaruhi kebijakan seorang penguasa.   Kita bisa  membaca dengan jelas dalam cerita itu bagaimana kemampuan seorang Nogo yang ternyata bisa mempengaruhi keputusan kepala adat dalam kasus “suanggi”.
Yang kedua, perjuangan hidup Peni selama pengasingan menunjukan bahwa perempuan bukalan sosok yang lemah, kendati adat dan tradisi memposisikan mereka sebagai manusia kelas dua. Pengarang menceritakan secara panjang lebar bagaimana tokoh Peni dapat bertahan hidup, terutama saat berebutan makanan dan air dengan binatang liar. Bisa saja pengarang mulai berimanjinasi tentang petualangan itu tapi apa yang diceritakan masih sangat natural bahwa ternyata  alam dan leluhur juga masih memberi kehidupan pada masyarakat lamatuka.
Yang ketiga, sifat dan karakter tokoh Peni dan Nogo yang diceritakan oleh pengarang  ternyata terbawa dan tergambar pada karakter manusia zaman ini. Banyak kasus yang terjadi saat ini,yang kejadiannya dimulai dengan rasa benci,iri dan dengki dan berakhir dengan pengkhianatan.
Tak bisa disangkal bahwa kisah Peni dan Nogo yang ditulis oleh Geradi Tukan, bukan sekedar  sebuah cerita tulisan fiksi belaka, tetapi lebih merupakan sebuah refleksi emosional atas  kenangan pahit yang terjadi kala itu. Geradi Tukan  coba menghidupkan kembali suasana alam saat itu, sehingga kita pada akhirnya dapat merasakan kegetiran hati seorang Peni saat diasingkan di tengah hutan belantara.
Dalam tulisannya setebal 102 halamam, pengarang ( Geradi Tukan ) mengakhiri ceritanya dengan kemenangan tokoh protagonis. Pengarang coba menggambarkan bahwa setiap kebenaran selalu menang meskipun selalu saja ada aral yang menghadang, dan hal ini juga berlaku untuk kehidupan kita saat ini. Masalah hidup akan selalu menghantui kita, pertanyaan reflektifnya adalah seberapa kuat kita menghadapi persoalan itu,sehingga pada akhirnya kita mampu menemukan jalan keluarnya.

    V.            Penutup

Analisis  sastra  cerita  Peni dan Nogo karya Gerady Tukan, memperlihatkan kepada kita tentang tema ceritannya yakni Cinta dan Pengkhianatan. Karena keegoan untuk memiliki cinta, orang bisa berubah menjadi pengkhianat. Setiap  pengkhianatan selalu dimulai dengan  ‘melukai’ dan diakhiri dengan ‘luka’, itu sebabnya sampai matipun seorang pengkhianat tak akan pernah dilupakan.
Dari segi penokohan, cerita ini menampilkan dua sosok perempuan sebagai tokoh utama yakni Peni dan Nogo. Keduanya menjadi simbol karakter manusia dari setiap zaman, tentang orang yang baik dan orang yang tidak baik. Kehadiran kedua tokoh ini, mencoba menghadirkan sebuah pandangan baru bahwa perempuan itu bukan mahkluk yang lemah, dan bukan manusia kelas dua. Perempuan itu memang bukan mahkluk yang luarbiasa tapi mereka bisa menghadapi semua persoalan hidup dengan cara yang luar biasa.
Secara sosiokultural, kisah Peni dan Nogo, memberikan kita dua pilihan hidup , apakah kita mau memilih menjadi orang baik atau memilih menjadi orang jahat? Aturan adat dan tradisi bisa juga keliru, bisa juga dipolitisir, karena itu keteguhan hati kita untuk menjadikan nilai kebenaran sebagai pedoman hidup harus menjadi yang utama.



 VI.            DAFTAR PUSTAKA

Da Silva,Antonius. 2015. Menguak Tabir Dibalik Kisah Peni dan Nogo. Online : http://ilowutung.blogspot.co.id ( diakses tanggal 7 September 2017)

Hauskeller,Michael.2015. Seni-Apa Itu? Posisi Estetika dari Planton sampai Danton. Yogyakarta : PT.Kanisius.

Rachmatullah,A.2010. Khazanah Kesusastraan Dunia dari Zaman Kuno sampai Modern. Jakarta :On(or Semesta Ilmu.

Sumaryanto.2010. Ensiklopedia Kesusatraan Indonesia.Semarang : Aneka Ilmu

Sumaryanto.2009. Memahami Karya Sastra bentuk Prosa. Semarang : PT.Sidur Press

Tukan,Gerady.2011.Peni dan Nogo sebuah Legenda.Kupang : Lembata G-Tukan Media

Komentar