GURU MENULIS DAN KECERDASAN INTELEKTUALNYA


 GURU MENULIS DAN KECERDASAN INTELEKTUALNYA
(Sebuah Kampanye Gerakan Literasi)







Albert Kamus, seorang filsuf Italia, pernah bertutur “ menulis adalah cara cerdas manusia dalam menjaga peradaban pengetahuanya dari hal-hal yang merusak diri”. Artinya menulis merupakan sebuah aktivitas yang mampu membuat seseorang (Penulis) menjadi lebih berpengetahuan atau menjadi lebih berwawasan. Ketika pemerintah melahirkan Permendiknas  No.23/Tahun 2015 tentang keharusan seorang pendidik untuk menulis (Karya Tulis Ilmiah), sebagai upaya memenuhi tuntutan profesionalitas kerjanya, ternyata hal ini menuai beragam opini. Sebagian besar pendidik (guru) merasa terbebani, pasalnya berbagai masalah dan target  yang ada  disekolah sudah terlalu menumpuk, lalu kenapa para pendidik harus dibebani dengan membuat tulisan ilmiah? Sementara itu sebagian pendidik lainya justru bersyukur karena dengan menulis mereka bisa membentengi dirinya dengan pengetahuan, sekaligus menjadi sarana bagi mereka untuk menuangkan ide dan gagasanya dengan leluasa.
Menulis kemudian menjadi sebuah polemik dan masalah yang cukup krusial dikalangan para pendidik (guru), terutama ketika berkaitan dengan urusan kenaikan pangkat. Pemeritah dinilai bertindak terlalu terburu-buru, karena memaksa guru menulis tapi tidak pernah memberi atau menciptakan “ruang” bagi para guru untuk menulis. Oleh Plato,filsuf yunani, situasi ini disebut sebagai realitas terbalik, yakni sebuah kondisi dimana realitas ide yang diusung ternyata tidak diikuti oleh realitas dunia yang ada, sehingga yang terjadi adalah sebuah diskursus atau pertentangan. Kalau boleh meminjan istilah Abdur, Komika asal NTT, hal ini sama seperti memaksa seseorang balita untuk mengerti statistik.
Terlepas dari beragam opini yang ada, penulis justru tertarik untuk menganalisa lebih jauh mengapa pemerintah begitu getol “memaksa” guru untuk menulis? Lalu sesulit apakah menulis itu sehingga banyak guru yang menggerutu? Apa hubungannya antara aktivitas menulis seorang pendidik dengan kecerdasan intelektualnya? Mungkinkah aktivitas menulis bisa meningkatkan kualitas mutu para pendidik?
Mengapa guru perlu menulis?
Dunia telah mencatat dalam hampir semua sejarah bangsa bahwa sebuah peradaban dunia yang maju dan berkembang  dimulai dengan tulisan. Sebuah peradaban akan dikatakan maju bila masyarakat dalam peradaban itu mampu menulis, sebagaimana peradaban yunani,arab,eropa yang begitu terkenal dengan ribuan karya tulisan para filsufnya, yang pemikiranya masih tetap kita gunakan sampai sekarang. Bayangkan saja, seandainya para filsuf sekelas Socrates, Plato, Aristoteles, Thales, Hegel, Derida,Nitze, Habermas, Freud,  Kleden bersaudara (Ignas dan Budi) dan para filsuf lainya, hanya mampu berbicara, mungkinkah kita bisa menelusuri pemikiran mereka?  Maka tidak heran jika Tutchev, seorang Penyair Rusia, pernah berseloroh bahwa segala pemikiran yang diucapkan adalah suatu kebohongan jika tidak ditulis.
 Mengapa guru perlu menulis? pertanyaan ini sebenarnya bermuara pada satu jawaban pasti yakni menulis adalah sebuah upaya untuk meningkatkan peradaban pengetahuannya. Pekerjaan guru yang langsung berkutat dengan pembentukan kecerdasan intelektual dan ahklak anak didik menuntut para guru untuk melakukan aktivitas yang mampu mengasah aspek pengetahuanya. Dan hemat penulis,menulis adalah cara yang paling sederhana dan ampuh selain berbicara dalam kelas.
Dalam kacamata antropologi, ternyata penggunaan bahasa tulis (menulis) berbanding lurus dengan tingkat peradaban pengetahuan seseorang. Itu berarti semakin intensif kita mengungkapkan gagasan secara tertulis maka semakin tinggi tingkat peradaban pengetahuan kita. Secara sederhana, aktivitas menulis akan dengan mudah mengikis label primitif yang ada dalam diri kita. Hal ini penting karena konon, manusia primitif hanya mampu mengandalkan omongan untuk memenuhi hajat hidupnya. Jika para guru tidak mampu menulis, lantas apa bedanya kita dengan manusia primitif?
Jika kita merujuk kepada ide-ide Sukarno, maka  menulis bisa dimengerti sebagai cara “memerdekakan” diri. Ketika guru menulis sebenarnya dia sedang memerdekakan ide, gagasan atau nilai dengan lebih leluasa dan terkontrol. Dengan menulis guru belajar mengajari dunia tentang hal yang benar atau salah, dengan menulis guru belajar  menghasilkan karya ( tulisan) yang  bisa menginspirasi dunia.
Dalam literature sejarah telah dicatat beberapa kisah para “guru” yang mampu menginspirasi dunia dengan tulisannya. Pada tahun 339 SM, Socrates menuliskan pembelaan dirinya dengan judul Apologia, yang kemudian ditulis kembali oleh muridnya Plato.Konon, tulisan ini menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa filsafat atau siapa saja yang tertarik dengan kajian filsafat. Lalu pada tahun 1957 Noam Chomsky, seorang linguis (ahli bahasa), menulis buku Syntactic Structures. Buku ini juga  menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa diseluruh dunia yang mengambil kajian lingusitik. Dan pada tahun 1992, Gorys Keraf, seorang Guru, menulis buku tentang Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan, dimana karya buku ini menjadi satu-satunya rujukan tentang cara menulis dan berbahasa indonesia dengan baik dan benar yang dipakai dari Sabang sampai Merauke.
Sekali lagi, seandainya Socrates, Chomsky dan Keraf hanya bisa menyampaikan gagasan lewat berbicara (omongan), bagaimana dunia dengan begitu instan bisa menikmati karya-karya mereka? Menurut  Danial, dengan menulis ( menghasilkan tulisan), sebenarnya kita dan mereka (para filsuf) sedang memberi contoh untuk menjadi guru yang dermawan, yakni guru yang tidak pelit akan ilmu pengetahuan. Pertanyaan mengapa guru perlu menulis adalah sebuah pertanyaan reflektif untuk para guru supaya bisa berbenah diri bahwa tugasnya tidak hanya berbicara ( mendidik dan membina) dalam kelas tapi juga menulis (memotivasi dan menginspirasi) dunia dengan karyanya.
Menulis dan kecerdasan Intelektual Guru
            Lalu apa hubungan anatara menulis dengan kecerdasan intelektual? Sebenarnya,menulis adalah sebuah aktivitas  untuk melahirkan atau mengeluarkan apa yang ada dipikiran  (ide-ide) atau apa yang diproses oleh kerja otak. Jadi bisa dikatakan secara gamblang bahwa menulis merupakan aktivitas mengasah otak. Otak itu sendiri adalah bagian dari akal dan dengan akal inilah manusia bisa cerdas secara intelektual.
            Menurut David Wechsler, Intelektual (Inteligensi)  adalah kemampuan bertindak secara terarah, berpikir secara rasional (dijangkau akal) , dan kemampuan menghadapi lingkungan secara baik. Sehingga bisa disimpulkan Inteligensi atau Intelektual adalah kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi atau intelektual tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi (perwujutan) dari berpikir rasional. Ketika menulis, sebenarnya penulis  sedang merangsang sekaligus mengaktifkan seperempat dari setriliun sel neuron setiap  menit. Hal ini terjadi karena untuk menghasilkan sebuah tulisan (karya), setiap penulis harus melakukan dan melewati beberapa aktivitas seperti membaca, menyimak, menganalisa, merefleksi dan memahami. Ketika guru melakukan aktivitas menulis, secara otomatis sel-sel neuron tersebut akan membantu guru mentransferkan pengetahuan secara lebih mudah kepada peserta didik. Oleh karena itu menulis sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh para pendidik guna meningkatkan kecerdasan intelektualnya.
            Menulis adalah salah satu dari aktivitas intelektual  dan hasil tulisan merupakan sebuah  produk dari cara berpikir rasional. Saat menulis, seorang guru melakukan sebuah aktivitas yang lebih dari sekedar membaca yakni memahami apa yang dia tulis. Dalam ilmu filsafat dikenal istilah Hermeneutika ( seni memahami), hal ini  penting karena ketika seseorang menulis dia (penulis) harus menanamkan kemampuan memahami melalui huruf-huruf mati (26 abjad) menjadi kata, kalimat, paragraf, tulisan atau buku yang bisa dimengerti dan dicerna oleh akal para pembaca. Jadi jelas bahwa menulis adalah sebuah aktivitas intelektual yang sangat mencerdaskan, dan untungnya, aktivitas menulis sangat mudah dilakukan jika hal ini sudah menjadi sebuah kebiasaan atau rutinitas.
Alpansyah, seorang  cerpenis yang menjadi pemenang LMCP 2005 pernah berbagi dalam sebuah diskusi, katanya “ Menulis itu sebuah ketrampilan biasa yang lahir dari sebuah kebiasaan. Seeorang yang memiliki segudang teori tentang berenang, tapi tidak pernah masuk ke kolam renang maka dapat dipastikan ketika orang itu terjun ke dalam air, dia akan meluncur layaknya sebuah batu yang jatuh kedalam air. Logika ini berlaku juga untuk menulis. meskipun kita menguasai segudang teori menulis, tetapi tidak pernah mencoba untuk menulis, maka yakinlah kita tidak akan pernah bisa menulis”.  Untuk itu, kemauan atau hasrat untuk menulis harus ditumbuhkan mulai sekarang sehingga seperti Albert Einstein, kita juga bisa mengatakan keberhasilan ditentukan oleh 99 % kemauan, selebihnya adalah bakat.
                        Ersis Warmansyah Abbas, seorang penulis senior, malah menggampangkan defenisi menulis sebagai sebuah kegiatan menuangkan pikiran ke dalam bentuk catatan. Menurutnya, menulis bukan ilmu yang mempunyai dasar filosofis, ruang lingkup, metode, apalagi body of knowlegde. Menulis adalah ketrampilan atau kebiasaan yang tidak perlu dipelajari tapi cukup dilakukan dan dilatih. Ide ini cukup beralasan mengingat banyaknya penulis hebat seperti Hamka, Rosehan, Anwar, Bill Gates, ternyata bukanlah sarjana, magister ataupun doktor.
             Dengan demikian, kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa secara tidak langsung pemerintah sudah dan sedang terlibat dalam sebuah proses peningkatan kualitas para pendidik. Dengan kata lain, kata “memaksa menulis” tidak ditangkap sebagai sebuah “kesan”, dimana yang nampak adalah arogansi pemerintah tetapi harus dimengerti sebagai sebuah “pesan”, yakni sebuah harapan untuk mencerdaskan para pelaku pendidikan.










Komentar